Selalu ada celah di antara
ketatnya dunia usaha. Dan hanya mata kreatif yang mampu melihatnya. Bisnis kaos
olong telah tersebar di mana-mana, dengan segala keunikannya. Tapi toh Irawan Prasetyo,
ST, masih mampu melihat yang belum diproduksi kompetitor. Dan ini khas
Surabaya: kaos bertema parikan
(pantun). Juga pisuhan (umpatan).
Tak terduga, juga
bagi pencetusnya sendiri, ternyata parikan dan pisuhan bisa marketable. Sejumlah parikan lucu yang
tercetak di punggung kaos ternyata membuat pembacanya tertawa, lalu tergerak
untuk membeli. Malah sebagian dari mereka kemudian menjadi follower setia yang menunggu-nunggu parikan edisi berikutnya.
Turu pasar kemulan keset.
Senden cagak bantalan gobis.
Rai sangar koyok dukun santet.
Tak sentak lha kok nangis.
Selain parikan, pria
lulusan Teknik Industri UPN Surabaya ini juga mengeksplorasi bahasa Jawa dialek
Suroboyoan yang egaliter, relatif
kasar, dan banyak umpatan. Anehnya, subkultur seperti itu diam-diam diakui menjadi ikon yang diterima
sebagai identitas arek Surabaya. Lalu muncullah ide menampilkan pisuhan itu di bagian depan kaos, dan uniknya,
kemudian digemari pasar.
Umumnya desain buatan
Kaos Mambu ini terinspirasi iklan
atau logo produk ternama yang kemudian diparodikan hingga memunculkan kelucuan.
Logo Burger King dipelesetkan menjadi
“nJeng King”. Iklan minuman ringan Sprite dimainkan menjadi “Sepet nDelok raimu”. Kondom Durex
dijadikan umpatan sarkas: “Burex dapuranmu.”
Berkait dengan
kekasaran ini, Irawan mengaku pernah kena batunya. Yaitu, saat mengikuti pemeran indie clothing
di Yogyakarta. Di tengah masyarakat berbudaya halus itu humornya kelewat
menyengat, murang tata, ora sopan.
“Mereka geleng-geleng
kepala di stan saya. Ada yang sampai negur saya. Waduh, saya salah tempat ini,”
katanya saat saya temui di workshopnya
Jl. Medokan Asri Barat IX/23 Medokan Ayu, Surabaya.
Kenyataan ini berkebalikan
dengan bila berpameran di Surabanya dan sekitarnya. Umumnya mereka menerima sebagai
kewajaran, lalu ramai-ramai membeli. Malah pernah ada pembeli, yang sudah
mengambil beberapa potong kaos, masih
sempat request: “Gak onok sing luwih kempro maneh, ta?” Oala... opo sablonan “Jancuk Jaran”
atau “Jankrik raimu asu” iku sik kurang vulgar, Cuk?
Begitulah. Kreator selalu
saja menemukan celah. Ekstremitas dan antimainstream
kadang justru menemukan pangsa pasarnya sendiri.
Uenak temen nasib Sampeyan, Cak Ir. Wis misuhi uwong, oleh duwik akeh maneh. Kurang opo? (*)
(Catatan
di sela kegiatan hunting data untuk keperluan penulisan buku “Industri Kreatif
Surabaya.”)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon