Inilah paradoks zaman IT. Di tengah pesatnya
kemajuan teknologi komunikasi informasi, problem yang muncul justru masalah komunikasi dan
informasi. Kasus-kasus yang mengemuka akhir-akhir ini tidak jauh dari urusan mulut, perkara
ucapan.
Sejumlah orang harus berurusan dengan polisi dan sebagian
masuk bui gara-gara kata-kata, status, dan cuitan. Ahmad Dhani, Buni Yani, Jonru, dan BTP, adalah sekadar contoh dari orang yang kurang
bijak dalam menggunakan lisannya ataupun tulisannya.
Jutaan kata diproduksi dan dishare setiap detik, tetapi yang terbanyak cuma ujaran kebencian atau
cuapan remeh temeh. Jutaan giga paket pulsa dibeli demi untuk ngirim video lucu,
meme, atau gambar saru. Teknologi canggih berbiaya tinggi cuma
dipakai sarana caci maki.
Dengan terfasilitasi teknologi canggih berkecepatan
tinggi, omelan, caci-maki, bualan, debat kusir antarpendukung fanatik capres membumbung
ke angkasa. Menjadi gumpalan hitam yang bikin sumpek banyak benak, bikin gerah
ketiak. Juga otak.
Ucapan filsuf Descartes “aku berfikir maka aku ada”
kiranya tak laku lagi. Gantinya: “aku ngebacot maka aku ada.” Ajaran budi pekerti “ajining diri ana ing lathi” tak dipakai
lagi. Agaknya yang lebih relevan dengan
gairah zaman adalah falsafah dangdut koplo: “pikir keri”. Ngomong dulu, pikir
kemudian. Share dulu, akurasi
belakangan. Kalau kemudian ternyata salah, ya mintak maap, apa susahnya. Bukanlah
mintak maap adalah perbuatan mulia?” (Duh,
pola pikir apa yang terinstall di hardisk kepalanya?).
Dulu, di saat awal maraknya SMS, saya sempat
berharap budaya literasi bakal tumbuh di negeri ini. Masyarakat yang masih
kerasan di alam budaya oral, terpaksa harus pindah ke budaya tulis, ketika
hendak berkomunikasi dengan sesama pemegang hape. Apalagi kemudian hadir
sosmed, ada WA Grup, Line Grup, dll., yang membuat orang bisa
berbincang ria via teks. Sarana ini mestinya membuat semua anggota grup jadi terampil
menulis.
Tetapi saya kecele. Ternyata orang lebih suka ngeshare, ketimbang menulis gagasan
sendiri. Tak banyak yang aktif menuliskan pikirannya, meski fesbuk selalu bertanya
“What’s on your mind? Yang ramai adalah orang mengunggah foto selfi atau mengetik
omongan secara serampangan, abai kaidah bahasa tulis, sehingga sulit dimengerti
pembacanya.
Yang memrihatinkan adalah soal pemilihan kata. Diksi
yang dipilih, tak lagi pakai ukuran kesantunan. Bagaimana menjelaskan fenomena
degradasi tata krama kaum terpelajar: ada profesor dengan enteng mencela orang lain dengan
julukan “dungu”? Atau ada menteri menyebut “goblok” dengan fasih kepada orang yang
mengkritiknya?
Begitu sering kata sarkas terlontar. Celakanya, lama-lama
kuping kita jadi tebal. Lantas kita menoleransi bahwa umpatan adalah ujaran biasa,
bahkan menyulut tawa. Sungguh, saya jadi kasihan kepada para pendidik di sekolah.
Mereka susah payah membiasakan siswanya untuk bertutur kata sopan, sementara di
medsos dan layar teve orang-orang “cerdik pandai” dan kaum elite saling umpat
menjadi sajian setiap saat.
Apakah karakter asli kita memang demikian? Lega terpuaskan
bila sukses merendahkan martabat orang yang
tak sependapat dengan kita? Agaknya
semua sudah lupa bahwa setiap kata punya bumerangnya sendiri.
Sampai di sini saya jadi teringat cerita Paklik
saya, seorang kepala sekolah SD. Dulu, katanya, ada oknum guru yang suka mengejek
siswanya dengan julukan “bedhes” (monyet). Bila ada siswa lupa bikin PR dia spontan
bilang: “dasar bedhes.” Begitu kelas mulai
berisik sedikit, dia langsung teriak: “hei bedhes, bisa diam, nggak?”
Suatu siang, di saat jam istirahat, guru tersebut butuh
memanggil seorang siswi. Lalu dia minta tolong kepada siswa yang kebetulan
lewat di depan ruang guru: ”Tolong, panggilkan Wati, ya.”
Setelah mengangguk, utusan itu berlari menuju ke
kelas.
“Waat..., kamu disuruh ke ruang guru!”
“Siapa yang suruh?” tanya Wati balik.
“Yang nyuruh.... Pak Bedhes,” katanya. Spontan
teman-temannya pada tertawa. Wati beranjak memenuhi panggilan, tanpa perlu
bertanya lagi siapa guru yang dimaksud. Sejak saat itu lahirlah julukan “Pak
Bedhes” bagi guru itu.
Nah, kan, “mulutmu adalah harimaumu” bukanlah sekadar
peribahasa. Itu realita sepanjang masa. (*)
Foto: steemit.com
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentspermisi min numpang share ya ^^
Replyingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
Promo Fans**poker saat ini :
- Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
- Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
- Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^
EmoticonEmoticon