Sebenarnya saya tidak suka tayangan serial di televisi. Sebab tontonan jenis ini akan mengganggu mobilitas diri. Betapa tidak, saban hari, pada jam-jam tertentu, kita jadi wajib nongkrong di depan tivi untuk menikmati serial yang sudah kadung diikuti. Belum lagi gangguan seambreg iklan yang muncul sewenang-wenang. Kejengkelan memang sudah lama menjadi bagian yang include dalam tayangan tv tak berbayar.
Tetapi kali ini lain. Saya
“terpaksa” mengingkari ketidaksukaan saya. Saya setia mengikuti serial panjang
Mahabarata. Beberapa bulan terakhir saya jadi punya waktu wajib untuk membeku
di depan tivi: menyaksikan kisah perang besar di padang Kurusetra itu.
Bagi pemirsa seusia saya, nonton
Mahabarata adalah sebuah romantisme. Salah satu hiburan, oh bahkan satu-satunya
hiburan, favorit di masa bocah saya di Kec. Lawang, Kab. Malang, adalah nonton
wayang kulit. Sambil berkemul sarung saya dan kawan sepermainan asyik menikmati
pergelaran semalam suntuk. Bahkan kalau ada ruwatan,
kami wajib nonton dua pergelaran nonstop siang malam. Bila tidak begitu, kami
khawatir kena balak. Takut dimangsa Bethara Kala. Ketika SD saya juga gemar
membaca kisah Mahabarata dari majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat atau dari
komik sewaan. Walhasil, kisah dari India itu begitu lekat dalam memori saya,
bahkan juga menjadi memori kolektif bagi sebagian masyarakat kita.
Itulah sebabnya begitu Mahabarata
ditayang di antv, saya dan banyak
pemirsa menyambut antusias. Apalagi lakon perang Baratayuda jarang dipentaskan
dalam hajatan di kampung-kampung. Ada kepercayaan bila acara pengantin nanggap lakon Baratayuda maka rumah
tangganya menjadi congkrah, cekcok melulu. Untuk itu lakon yang sering
dipentaskan adalah tentang turunnya Wahyu
Cakraningrat, Lahirnya Parikesit, atau Petruk
Jadi Ratu.
Meski secara keseluruhan kami
telah tahu jalan cerita, tetapi toh tetap mau mengikuti episode demi episode. Ini semacam klangenan, pengobat rindu, walau dengan medium yang berbeda. Dari
medium wayang kulit yang “sederhana” tapi imajinatif berpindah ke medium audio
visual modern dengan segala macam visual efek di dalamnya.
Bila dulu dahsyatnya senjata
cakra milik Sri Kresna yang mampu menutup cahaya mentari hanya tergambarkan
lewat narasi dalang, kini tervisualkan dengan apik. Demikian juga kilat buah
tabrakan dua panah yang dilepas dari gendewa Arjuna dan Karna terlihat begitu
nyata (meski menurut saya terasa menjadi artifisial dan agak lucu).
Benturan Nilai
Menonton Mahabarata adalah
menikmati nilai-nilai yang berbenturan. Benturan antara kebenaran dan
kebatilan, antara kejujuran dan keculasan, atau antara ambisi kekuasan dengan
kesetiaan kepada sumpah. Kisah konflik keluarga besar Kuru ini menghadirkan
sosok-sosok dengan berbagai perangai yang
bergesekan karena perbedaan kepentingan. Lewat karakter yang mewakili
aneka watak manusia pemirsa dapat banyak belajar tentang bagaimana seharusnya
hidup dan bertindak.
Lihatlah nasib nestapa Raja
Destrarata yang buta. Bagaimana mungkin pemimpin yang buta hatinya mampu
mengendalikan sebuah negara? Sang istripun turut membutakan matanya terhadap
kebenaran dengan cara menutup matanya sendiri dengan kain --sepanjang hidupnya.
Ada sosok Bisma yang demikian kukuh
melaksanaan sumpah yang dicanangkan sendiri. Dia mati-matian membela negara Hastina
Pura, meski dia menyaksikan banyak kejahatan dan tindak asusila dilakukan
Kurawa di depan matanya. Guru Druna adalah simbol cinta yang berlebihan seorang
ayah terhadap putra. Demi putra tersayang, Aswatama, dia rela melakukan apa
saja. Cinta buta telah membuat seseorang (seorang guru sekalipun) tidak mampu
membedakan benar-salah dan baik-buruk. Sementara
perjalanan hidup Raja Angga Karna adalah perjalanan merebut harga diri seraya
menepis stigma buruk di dahinya sebagai “anak tukang kusir.”
Satu lagi tokoh antagonis yang
tidak boleh lupa disebut yaitu Sengkuni. Ini sebuah karakter yang mewakili segenap
perangai jahat manusia. Kelicikan dan kecerdasannya hanya membuat kesengsaraan
orang lain. Siasat dan akal busuknya membawa kekacauan berkepanjangan. Hati Sengkuni
tidak lagi mengenal kebaikan budi. Bahkan kebaikan dan kekasatriaan Pendawa
justru dimanfaatkan sebagai trik untuk menjatuhkan Pandawa.
Srikandi Pendendam
Menikmati Mahabarata versi India
itu diam-diam kita melakukan klarifikasi terhadap referensi yang terbenam dalam
benak selama ini. Kini saya jadi mengerti mengapa Drupadi bersedia melakukan
poliandri, menikah dengan lima bersaudara Pendawa sekaligus. Drupadi terpaksa
melakukan gara-gara ibu mertuanya, Kunti, ceroboh melontarkan kata-kata.
Suatu siang di masa pengasingan, Kunti
tengah khusuk menjalankan ritual pemujaan kepada dewa. Dari arah belakang Arjuna
datang tergopoh demi mengabarkan berita gembira. “Ibu, saya mendapat hadiah,”
katanya sambil mengajak Drupadi menghadap. Ya, Arjuna baru saja memenangkan
sayembara adu memanah dan mendapat hadiah berupa putri dari raja Drupada. Tanpa
menoleh sang ibu menjawab, ”Sudah berkali-kali kukatakan, Arjuna. Apapun hadiah
itu, semua harus kamu bagi dengan saudara-saudaramu.”
Setelah sadar telah terjadi
kesalahpahaman, Kunti berusaha meralat ucapannya dengan buraian air mata.
Tetapi kata yang terlontar telah menjadi
sumpah yang tak terbatalkan oleh sesal.
Dalam tayangan Mahabarata
terdapat beberapa sosok yang berbeda dengan persepsi kita selama ini. Srikandi
misalnya. Di benak kami, Srikandi adalah
pahlawan wanita pemberani dan lihai memanah. Itulah sebabnya bila ada perempuan
perkasa atau berjasa di masyarakat kita sebut dengan Srikandi. Padahal Srikandi
adalah lambang dendam kesumat. Dia dilahirkan dengan satu misi tunggal:
membunuh Bisma yang agung. Agaknya kita perlu menimbang ulang manakala mau menjuluki
seorang tokoh wanita Indonesia dengan sebutan Srikandi.
Gatutkaca juga begitu. Bagi penonton
wayang, tokoh Gatotkaca adalah satria idola. Tampan dengan kumis melintang.
Tampil keren dengan rompi bergambar bintang gemerlap. Putra Bima ini mengenakan
sayap di belakang kedua lengannya pertanda dia mampu terbang tinggi dan siap
menyergap musuh dari angkasa. Nah, gambaran Gatutkaca dalam serial Mahabarata
sungguh di luar dugaan. Dia hadir dalam wujud pria besar berkepala gundul,
persis jin yang keluar dari lampu Aladdin. Raksasa ini muncul di medan
pertempuran pada akhir-akhir episode dengan tawanya yang keras dan semburan api
dari mulutnya. Gatutkaca memang anak Bima setelah mempersunting wanita dari
komunitas raksasa.
Film Sastra
Mahabarata diangkat dari
mahakarya sastra klasik India. Karena karya sastra kelihatan sekali bobot
ungkapan dan percakapan yang dilontarkan oleh para pemainnya. Terutama
ucapan-ucapan Basudewa Kresna yang penuh mutiara hikmah. Dialog panjang Kresna
dengan Arjuna yang tengah galau untuk memulai perang saudara adalah diskusi
mendalam tentang peran ksatria di depan kebenaran, posisi dilematis antara rasa
persaudaran dengan tugas negara yang diemban. Sebuah cuplikan percakapan
bermakna tentang kehidupan yang hanya dapat kita nikmati melalui kitab Bhagawat
Gita.
Namun narasi gaya sastra membawa
konsekuensi tersendiri. Jalan cerita jadi lamban bahkan kadang terlerosok ke
jurang melodrama. Kenyataan ini membuat pemirsa yang terbiasa dengan plot dan
cara tutur ala Hollywood menjadi tidak betah bertahan. Film-film barat yang
berbasis realitas begitu mengandalkan logika dan kecepatan adegan, sedang
Mahabarata adalah kisah dari Timur yang banyak mengandung muatan simbol dan
berbasis mitologi.
Itulah sebabnya mereka yang
menginginkan adegan perang kolosal dalam frame realistik, dengan derap kuda denting
pedang dan darah yang mucrat, menjadi tidak terpuaskan. Dalam banyak adegan
pertempuran Mahabarata lebih divisualkan secara simbolis. Kematian puluhan
adik-adik Duryudana digambarkan dengan padamnya satu demi satu lampu lilin di sebuah
ruang istana ratu Gandari.
Tewasnya Abimanyu yang dihajar
ribuan anak panah tidak tergambarkan secara visual, tetapi lebih banyak
diwakilkan pada sosok Kresna yang merasa sakit tepat di bjantung dan dadanya. Gambar
ayunan gada Bima yang mengobrak abrik tentara musuh berusaha disamarkan agar
tidak menjadi adegan yang mengerikan. Walhasil, peperangan yang tersaji dalam
Mahabarata bukanlah pertarungan fisik semata tetapi lebih kepada pertempuran
batin manusia, perkelahian abadi antara kebenaran melawan ketidakbenaran.
Pertempuran Mahabarata telah mengajarkan
kenyataan yang menyakitkan. Peperangan tidak menghasilkan apa-apa kecuali
kehancuran bagi kedua belah pihak. Pembalasan dendam yang terlunaskan hanya
melegakan sejenak, selebihnya adalah penyesalan dan penderitaan yang
menyakitkan. Kemenangan terasa sia-sia di depan kesengsaraan yang
ditimbulkannya. Tetapi betapapun, perang adalah tugas yang kadang harus
ditempuh manakala kebenaran dan keadilan telah dijungkirbalikan oleh penguasa
lalim.
Bagi saya adegan pertempuran
Baratayuda Jaya Binangun di pakeliran
wayang kulit tetap teras lebih menarik daripada di layar kaca televisi. Gerakan
peperangan yang dimainkan oleh tangan trampil dalang sungguh memukau. Membawa
imajinasi terbang bebas untuk membayangkan pertempuran yang sesungguhnya di
dalam benak.
Tapi sayangnya kini tidak banyak lagi
pementasan wayang kulit. Memang sesekali ada pergelaran di pendopo pemerintah
daerah, tetapi yang disajikan tidak seperti dulu lagi. Selingannya kelewat
banyak. Sampai pukul dua malam masih diisi dagelan Kirun Cs dan reques lagu-lagu. Sang dalang pun terlalu
banyak pringisan, sehingga nyaris tak
terasa lagi bahwa kisah wayang itu berangkat dari mahakarya sastra yang hebat.(*)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon