Sungguh senang rasanya menyaksikan dua penyair legendaris Indonesia masih sehat dan tetap menawan di panggung. Apalagi puisi mereka tergolong puisi yang memang cocok digemakan di hadapan khalayak. Ya, penyair pelopor angkatan 66, Taufiq Ismail (88 th), dan penyair celurit emas dari Sumenep D. Zawawi Imron (78 th) tampil bergantian membacakan karya-karya berkualitasnya di Auditorium Tower lantai 9, Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Surabaya, Senin tadi siang.
Masih dalam rangkaian hari Kebangkitan Nasional, acara Parade Pembacaan Puisi kali ini mengusung tema Kebangkitan Bangsa Bebas dari Korupsi. Parade juga disiarkan secara daring lewat Zoom meeting dan live streaming Youtobe. Selain dua penyair tersebut, juga turut meramaikan parade jajaran pejabat dan dosen Unusa serta sejumlah penyair Jawa Timur, sepert Prof. Kacung Marijan, Dr. Suhermono Kasiyun M.Pd, Aming Aminuddin, Shoim Anwar, Widodo Basuki, Heti Palestina, Gatot Strenkali, dan lainnya.
Kondisi sehat, meski harus dikawani tongkat, dua penyair tersebut merupakan aset bangsa yang perlu disyukuri. Sebab penyair besar adalah penjaga jiwa, perawat hati nurani masyarakat dan bangsanya. Melalui untaian kata mereka menjalankan darmanya. Memberi penyadaran, pelembutan rasa, juga penghiburan. Jangan lupa penyair juga mengkritisi ketimpangan serta mengutuk nafas zaman yang busuk. Darinya kata tidak sekadar retorika klise karena ditulis sepenuh jiwa dan diolah dengan originalitas kepenyairannya. Maka yang hadir adalah mata air, inspirasi yang menyulut, sekaligus alarm peringatan yang berdaya gugat.
Dengan
Puisi, Aku
Sampai senja umurku
nanti
Dengan puisi, aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi, aku
mengenang
Keabadian yang akan
datang
Dengan puisi, aku
menangis
Jarum waktu bila
kejam mengiris
Dengan puisi, aku
mengutuk
Nafas zaman yang
busuk
Dengan puisi, aku
berdoa
Perkenankanlah
kiranya
(1)
Inilah
syair pertama tentang secercah sejarah
Mengenai
Nabi Muhammad menjelang wafat
Ketika
sakit beliau sudah terasa berat
Pada
tabungannya yang sedikit jadi teringat
Menyedekahkannya
belumlah lagi sempat
“Aisyah,
mana itu ashrafi?
Sedekahkanlah
segera di jalan Allah
Berikanlah
secepatnya pada orang tidak berpunya
Bila
masih ada harta kutinggalkan
Di
rumahku ini, pasti itu bakal jadi rintangan
Dan
aku tak aman menghadap Tuhan.”
Sesudah
tabungan itu dibagikan
Maka
wafatlah beliau dengan aman.
…………………………….
Berikutnya giliran penyair D. Zawawi menghidupkan panggung dengan pantun dan puisi satir yang menyentil para koruptor. Berikut ini salah satunya:
Ketika
hujan mengguyur
Basah
kuyup orang yang jujur
Basah
kuyup juga orang yang tidak jujur
Tetapi
yang lebih banyak basah kuyub adalah orang yang jujur.
Kenapa?
Kenapa?
Karena
payung orang yang jujur telah habis dicuri oleh orang yang tidak jujur.
Tetapi
kalau hujan itu berkah perlambang rahmat
Hujan
rahmat hanya akan membasahi orang yang jujur saja
Orang-orang
yang tidak jujur tidak pernah akan basah oleh hujan rahmat
Kenapa?
Kenapa?
Karena
merekalah yang menolak hujan rahmat dengan payung-payung hasil curiannya itu.
Tidak hanya mengulas koruptor, Zawawi juga menebar pesan tentang pentingnya budi pekerti, adab anak kepada bapak ibu serta kepada guru, seraya menyitir “puisi” Imam Syafi’i dan kata bijak pada ulama terdahulu.
Alhasil acara parade puisi berlangsung sukses dan seru. Juga melegakan, karena uneg-uneg, kejengkelan, dan aspirasi penonton tersalurkan lewat bait sajak yang disuarakan sejumlah penyair di dalam parade. Akan tetapi, harus diakui, pentas puisi kritik saat ini tidak dapat menandingi kehebohan acara yang sama, yang ditampilkan pada saat zaman Orde Baru dulu.
Dulu untuk lantang meneriakkan kritik di tengah sistem politik yang represif dan rezim militeristik seperti itu, butuh nyali rangkap. Dan tidak semua penyair memiliki. Begitu ada penyair tatag meneriakkan sindiran pedas yang memerahkan kuping penguasa, maka yang terjadi adalah katarsis. Penonton bersorak girang, lantaran ganjalan yang menyumbat hati mendapat saluran pelepasannya. Penonton menjadi suporter yang nimbrung unjuk rasa, tanpa takut risiko diciduk aparat.
Rupanya, untuk menjadi tontonan seru dan tegang, pembacaan puisi kritik membutuhkan “bumbu” intimidatif secukupnya. Tetapi di era medsos, di mana semua orang dapat seenaknya menyinyiri dan mencaci maki penguasa negeri, agaknya kritik lewat puisi menjadi berkurang daya gigitnya. Begitukah?
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon