Siang tengah hari, matahari seperti meleleh di aspal
jalan-jalan Surabaya. Tercegat lampu merah dan terjebak kemacetan lalin adalah
keseharian yang dialami kaum pekerja lapangan. Kering di kerongkongan yang
ditahan-tahan, selalu menemukan solusi pintas, jika mau, dengan langsung mampir
ke warung es degan pinggir jalan.
Berada di sela himpitan kendaraan dan hawa yang gerah,
saya jadi teringat sebuah status teman di grup WA. Dia menuliskan kesedihan
hatinya karena sebentar lagi bakal ditinggal bulan suci, kemudian berharap andai puasa diperpanjang lagi. Ah, kok
lebay, ya.
Tapi boleh jadi dia menulis seperti itu karena termasuk
orang yang dapat menjalankan puasa dalam atmosfir kenyamanan sempurna. Dia bekerja di kantoran
ber-AC atau senantiasa bernaung di dalam rumah tanpa beban kerja berat. Menghabiskan
waktu luang dengan ngibadah dan main gadget sepanjang hari.
Lalu sorenya mereka bolak-balik menghadiri bukber
di resto atau kuliner favorite. Puasa dijalani nyaris tanpa sengsara. Mungkin
puasa hanya soal mengubah jadwal makan. Lantas, penghayatan dan empati terhadap
kaum papa, sebagai salah satu hikmah puasa, apa masih terasa?
Dalam terik siang, saya selalu dibikin kagum oleh
orang-orang lapangan yang berjibaku di jalanan. Melakoni puasa bagi tukang batu
yang memasang atap rumah seharian, kuli angkut di pasar beras, ojek online si kutu
jalanan bergerak tanpa henti, sales barang kreditan, bagi pedagang sapu keset yang
mengelilingi sejumlah perumahan, bagaimana rasanya? Begitu adzan Magrib
berkumandang kulihat seorang kuli proyek bangunan berjongkok sembari menyedot es teh bungkusan. Mereka adalah orang
biasa dengan ketaatan yang luar biasa.
Di antara pekerja keras itu memang ada yang tidak
puasa. Mungkin memang tidak kuat, mungkin sedang sakit, terpaksa mokel, atau
boleh jadi memang warga nonmuslim. Meski begitu toh mereka punya etika dan rasa
malu. Saat makan siang, kusaksikan ada yang duduk meringkuk menghadap sudut tembok,
bersicepat melahap nasi bungkusan.
Bagi pekerja lapangan di jalanan, oase ternyaman adalah
teras-teras masjid yang sejuk. Seusai shalat dzuhur, menggeletakkan diri di
keramik sungguh kenyamanan tiada tara. Itulah
sebabnya papan peringatan takmir bertuliskan “DILARANG TIDUR-TIDURAN DI MASJID”,
sedikit banyak telah menyinggung perasaan mereka. Mosok rebahan sebentar saja tidak boleh?
Setelah berkeliling semenjak pagi, raga tentu butuh
diistirahatkan barang sejenak. Itu fasilitas wajar yang mestinya berhak didapat jamaah masjid.
Toh mereka tidak bakalan tidur di masjid berjam-jam. Sebab begitu matahari
lingsir sedikit, mereka sudah harus turun ke lapangan lagi untuk kejar setoran.
Mereka kudu bekerja keras sebab mereka tidak mendapat jatah THR dan gaji ke-13
dari APBD.
Bagi orang lapangan kiranya puasa cukuplah sebulan
saja. Ndak usah minta yang aneh-aneh.
Meski nasib kerap tidak berpihak, mereka tetap melaksanakan puasa sebisa-bisanya.
Di saat badan capek toh masih ada info penghibur hati. Berita Bupati Tulungangung
dan Walikota Blitar yang diringkus KPK rupanya menjadi kabar yang menggembirakan
mereka. “Kapok koen! Rasakno Lebaran nang
penjara!”
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon