SUNGGUH senang menyaksikan orang-orang yang begitu
produktif membuat karya tulis. Stok idenya seolah membanjir, lalu
jari-jemarinya tinggal mengetikkannya.
Kok bisa ya? Sementara aku tidak mampu seperti itu. Berbekal pada rasa
penasaran tersebut, maka setiap ketemu penulis atau orang pandai saya tergerak
mengorek rahasia produktif mereka.
Di suatu pagi yang sejuk, saya berkesempatan ke kediaman
Bapak Muhammad Zuhri (sekarang sudah almarhum) di Desa Sekarjalak, Kec.
Margoyoso, Kab. Pati, Jawa Tengah. Penulis buku-buku genre tasawwuf modern ini menyambut saya dengan amat ramah
meski disertai secuwil kritik.
”Kalau ke sini itu sebaiknya jangan sendirian. Biar
lebih manfaat, karena perbincangan akan
diikuti banyak orang. Seperti yang biasa dilakukan mahasiswa Bandung atau Yogya,
mereka ke sini berombongan pakai bus,” ujar
pria pencari hikmah yang akrab dipanggil
Pak Mo atau Kang Mo itu.
Karena hanya silaturahim biasa, saya tidak ingin banyak
menyita waktu Pak Mo. Saya tawarkan kepada beliau agar tetap beraktivitas, toh nanti saya bisa
tanya-tanya di sela kesibukannya.
Tapi jawaban Pak Mo sungguh mengagetkan, “Pagi ini,
oleh Allah, Anda didatangkan kemari. Maka tugas saya adalah melayani Anda.”
Saya merasa demikian tersanjung, siapalah saya, hingga dihargai demikian tinggi?
Kemudian kamipun berbincang tentang banyak hal dengan diselingi tawa, hirupan
wedang kopi, dan kepulan asap rokok tak henti-henti. Bahkan sempat diselingi sarapan
pagi segala.
Karena saya reporter dan tertarik dengan dunia
tulis-menulis maka dalam kesempatan emas itu kutanyakan tentang dunia
kepenulisan. “Pak Mo, bagaimana sih caranya agar produktif dalam menulis? Saya kok merasa sering macet dan gampang kehabisan
ide.”
Pak Mo menjawab dengan bahasa berbalut metafora, mungkin
itu kekhasan orang-orang sufi. Sehingga benakku harus mengunyah agak lama
sebelum menelannya. “Menulis itu seperti orang bernafas,” katanya. Nah,
simbolis kan? Lalu Pak Mo meneruskan, “ada saatnya kita menghirup ada saatnya
menghembus. Jadi tidak bisa kita menulis terus-menerus.”
Pikiranku segera menyimpulkan, bahwa seorang penulis
haruslah banyak membaca agar kaya
wawasan, agar punya bendungan referensi yang siap dialirkan begitu disudet.
Membaca=menghirup. Menulis= menghembus.
“Tapi Pak Mo, saya merasa sudah cukup banyak
membaca referensi, mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, tapi produktivitas
tulisanku kok masih rendah juga?” saya mengejar.
“Terus, berapa puluh perpustakaan lagi yang harus Anda
kunjungi? Berapa puluh buku lagi yang harus Anda baca?” Pak Mo bertanya balik. Saya hanya meringis,
karena tak tahu harus menjawab apa.
Untung Pak Mo menjawab sendiri pertanyaannya.
Dikatakan, referensi itu ibarat lampu jalan yang menerangi areal di bawahnya.
Puluhan cahaya lampu jalan membuat malam-malam kota menjadi terang-benderang. Pikirankupun
kembali mereka-reka makna, “kalau begitu saya seharusnya banyak-banyak memanjat
tiang lampu jalan agar mendapat banyak cahaya dan pencerahan.”
“Saya punya cara pintas untuk itu?” katanya
memotong laju pikiran saya, “Panjat saja tiang lampu tertinggi, maka kau akan
bisa melihat seluruh penjuru kota.”
Aku terdiam, dan tidak berusaha mengejar lebih
jauh, takut dikira sarjana bodoh (padahal iya). Diam-diam saya cuma menafsir-nafsir ucapan Pak Mo. Mungkin yang
beliau maksud dengan tiang lampu tertinggi adalah ilmu filsafat, ilmu agama,
atau ilmu hikmah. Entahlah.
Kunci Cak
Nun
Lain waktu , saya sempat menanyakan hal yang sama
kepada budayawan dan penulis hebat Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun). Saat itu kami berada dalam kendaraan yang melaju kencang
ke timur, menuju Ponpes Genggong, Paiton,
Probolinggo untuk mengisi acara di sana.
“Terus terang aku iri sampeyan Cak Nun. Dengan
kesibukan seperti ini, tulisan sampeyan
kok mbrudhul banyak sekali? Tulisan sampeyan muncul di mana-mana. Aku kok gak bisa produktif seperti itu. Padahal
aku yo wis akeh moco referensi lo,”
kata saya yang kebetulan duduk di sampingnya.
Tak terduga Cak Nun malah mencela saya, “pikiranmu terlalu
Barat se...”
Oh, what?
saya tak paham ucapan Kyai gondrong asal Desa Menturo Jombang itu.
“Maksud sampeyan?”
“Awakmu
terlalu membedakan antara aksi dengan reaksi, antara kreasi dengan rekreasi. Itu
pikiran orang Barat. Padahal gak ada pembedaan
itu. Aksi itu ya reaksi, reaksi itu
ya aksi. Rekreasilah dalam kreasi. Kreasilah
dalam rekreasi. Nek awakmu bosen
umbah-umbah yo gentio nimbo. Nek
kesel nimbo, yo genti umbah-umbaho. Ngono, (Kalau dirimu bosan mencuci ya
gantilah dengan menimba. Bila capek menimba yang gantilah dengan cuci-cuci). ”
kata Cak Nun.
Aku manggut-manggut walau tidak sepenuhnya
mengerti. Ah, telmi.
“Tapi bacaan dan referensi kan tetep perlu, Cak,” saya mencoba ngengkel.
“Ngene lo.
sing penting iku awakmu kudu nemu kunci-kunci. Nek wis nemu kuncine enak wis.
Awakmu kari mbukak laci-laci sing kok karepno,” katanya menjlentrehkan. (Begini lo, yang penting itu dirimu harus
menemukan kunci-kunci. Kalau sudah ketemu enak, kamu tinggal membuka laci-laci
yang kau inginkan).
Sayangnya saya tidak bisa mengejar lebih jauh
karena tidak sedang bicara empat mata. Masih banyak penumpang lain dalam mobil yang
juga ikut nimbrung ngobrol dengan Cak Nun. Jadi pembicaraan pun lompat sana
lompat sini. Namanya juga ngobrol di jalan. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sumber ilustrasi: sorotklaten.co
Colek kawans penggiat literasi: Mas Hartoko, Joni, M.
Khoiri, Sutejo, Amang, M Tohir, Indra Sari, Hernowo, satria Darma.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon