Bulan kemarin saya menghadiri reuni
keluarga di kawasan Trawas Mojokerto. Sebuah gathering sederhana tapi penuh gelak tawa. Menyambung silaturahmi
dengan sanak famili bukan hal mudah di zaman yang serba sibuk sekarang ini.
Di sela kegembiraan, saya
tertarik dengan seorang keponakan yang
membawa burung piaraan warna hijau. Ya parkit nan cantik. Sudah cantik
jinak pula. Burung itu tak takut dengan kami yang merubungnya. Jari-jejari yang
berebut mengusap punggungnya tidak mengusiknya. Tampaknya dia sudah demikian
terbiasa hilir-mudik di antara pangkuan dan pundak orang-orang di sekitarnya.
Bahkan ketika Adi, sang pemilik,
memegang dan melemparnya ke udara, si parkir segera terbang baik kembali ke
lengan tuannya. Bagai bumerang suku Aborigin Australia yang jika dilempar jauh
segera balik kucing ke arah
pelemparnya.
“Ini memang teknik bumerang
namanya,” kata Adi seolah membenarkan kata batin saya. “Ada lagi teknik
penjinakan, namanya free flying,” tambah mahasiswa itu menambah
wawasan kami tentang teknik jinak-menjinakkan satwa.
Sambil kelakar saya menukas,
“Saya tahu teknik free fying. Itu
maksudnya kalau dilepas burung mabur bebas
dan ndak balik lagi. Itu minggat.”
Semua tertawa dan tak ada yang
menyanggah kengawuran saya. Dalam suasana reuni memang tidak dibutuhkan pembicaraan
serius. Segala pembicaraan sudah
selayaknya dipungkasi dengan ledakan tawa.
Tetapi diam-diam saya tetap
dirambati rasa penasaran. Bagaimana caranya seekor burung
menjadi begitu penurut? Padahal kodrat burung adalah terbang
mengangkasa. Maka begitu ada kesempatan
segera kutanyakan hal itu kepada Adi.
“Penyayang” binatang itupun buka
kartu. Amboi, ternyata butuh waktu lama dan kesabaran ekstra untuk membuat
parkit “setia” berperilaku seperti ini. Dikatakan, sejak kecil, bayi parkit
sudah dipisahkan dari induknya. Sejak saat itu pemilik burung mengambil alih
semua tugas induk burung. Menyuapi piyik
parkit dengan bubur instan SUN. Setelah agak besar baru diberi makan dengan
butiran milet. Di dalam sangkar tidak tersedia makanan dan minuman sama sekali.
Jatah makanan hanya ada di satu tempat: di ujung jari Adi. Itupun hanya setiap
tiga jam sekali.
Maka di saat sang burung merasa
lapar dan butuh asupan makanan, satu-satunya tindakan yang “wajib” dilakukan
adalah terbang mendekat jemari tuannya. Begitulah pembiasaan itu berlangsung
dari bulan ke bulan, bahkan terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya.
Setelah pembiasaan berjalan lama
yang terbentuk adalah kewajaran baru pada diri si parkit. Bahwa untuk dapat
hidup adalah kembali ke jari pemilik burung. Meski dia dilempar ke langit luas
kebebasan, si parkit segera sigap putar sayap balik kanan kembali ke pangkuan majikan
yang melemparkannya. Agaknya burung parkit telah berubah wujud. Dia telah menjadi
bumerang yang sempurna.
Saya jadi terbawa pada arus
pikiran yang lebih jauh: apa yang
sebenarnya terjadi? Pergaulan kasih sayang antara binatang dan pecinta
binantang? Proses penjinakan yang justru mengingkari kewajaran? Atau cuci otak atas nama hobi dan
kegembiraan?
Ketika orang-orang sekitar larut
dalam gembira karena dapat bercanda dengan burung parkit jinak, bahkan sebagian
mungkin menganggap ini sebagai sebuah prestasi, saya malah terusik untuk mempertanyakan kembali apa sebenarnya arti
sebuah kemerdekaan.
Sekilas burung parkit itu
terlihat bebas merdeka. Leluasa keluar
masuk sangkar hinggap ke sana ke mari di
bawah “asuhan” sang pemelihara. Padahal sesungguhnya itu semu belaka. Sang Parkit tidaklah merdeka bahkan mungkin lebih menyedihkan: dia telah kehilangan
kemerdekaan semenjak bayi dan tanpa menyadari bahwa dirinya telah kehilangan.
Yang terjadi justru sebuah
ketergantungan ekstrim. Dia lumpuh tidak dapat berbuat apa-apa meski dia telah menghirup udara bebas. Dia
sama sekali tidak paham betapa di alam bebas terdapat banyak makanan, minuman,
dan teman yang menjadi hak dan layak untuk dimiliknya. Sampai kini yang dia
tahu hanyalah segera mendekat ke tangan majikan demi sebutir, ya sebutir,
makanan.
Celakanya sang pemilik burung pun
tidak merasa bahwa dia menjadi pangkal penyebab semua ini. Malah mungkin dia merasa
telah memberikan makanan dan kasih sayang yang berkecukupan. Bukankah dia telah
rela kehilangan sebagian kemerdekaan karena setiap tiga jam sekali dia harus menyuapi
piaraannya? Jadi tanpa sadar keduanya sama-sama telah
tersandera. Sang parkit tersandera oleh ketergantungan total, sedang sang
pemilik tak bebas melakukan waktu pribadinya untuk pergi jauh sekehendak hatinya demi merawat burung dan
memenuhi hobinya.
Salah Asuhan
Boleh jadi ini cuma sepenggal kisah burung kecil yang tidak penting. Hanya relasi sederhana
antara satwa dengan manusia. Tapi bukankah ini gambaran nyata tentang realitas pengasuhan
dan pendidikan anak yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari?
Betapa kerap tidak tersadari bahwa pola pengasuhan yang berlebih
kepada anak dan cucu membuat kita terperosok kepada pola relasi seperti si
Parkit dan si Adi tadi? Kepedulian yang diguyurkan secara over dosis kepada
buah hati semenjak kecil sangat mungkin membentuk candu ketergantungan dan merontokkan
sendi-sendi potensinya.
Dampaknya bisa ektrim. Bagai si
parkit, saat sang buah hati dilepaskan untuk merasakan kemerdekaan dan kemandirian, maka dalam sekejap dia akan surut ke ketiak
orang tuanya. Menyuruh anak keluar dari zona nyaman tidak dapat dilakukan
begitu saja. Butuh dipupuk keberaniannya dan perlu pelatihan berulang-ulang.
Mana mungkin anak yang terbiasa
dengan fasilitas, perlindungan, dan pasok finansial dapat segera terbang mengangkasa, tanpa ingin balik ke
kurungan orang tuanya? Padahal kasih
sayang sejati semestinya bersifat memerdekaan. Pengasuhan dan pendidikan yang
benar adalah mengasah kemampuan anak agar dapat berdiri dengan potensinya
sendiri.
Secara umum orang tua sekarang
begitu peduli dengan tumbuh kembang anak-anaknya. Begitu peduli, sehingga
cenderung memfasilitasi apa saja yang diminta anak. Padahal pemberian yang
berlebihan dapat terpeleset kepada pemanjaan. Pembimbingan yang over proteksi
justru dapat membunuh sikap mandiri anak.
Dalam kasus-kasus tertentu
ketidaktersediaan fasilitas dan tidak terpenuhi semua permintaan, justru mendorong anak menjadi tertantang untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Misalnya, untuk dapat memiliki benda impian dia
bertekun menabung uang jajannya atau membuat kegiatan produktif hingga
menghasilkan uang. Kesulitan hidup justru dapat menempa anak menjadi berjiwa
tegar.
Semestinya pengasuhan dan
pendidikan adalah proses mendewasakan anak. Manakala telah terbangun tanggung
jawab dan kemandirian, orang tua akan lega melihat anaknya mantap melangkah
menuju masa depan sesuai potensi dan cita-citanya. Kita pun harus rela manakala
karier yang ditempuh anak ternyata tidak
sepenuhnya sejalan dengan kemauan ego kita.
Pada akhirnya kita memang harus
ikhlas melepas anak untuk terbang menuju masa depan yang dipilihnya sendiri. Inilah
pendidikan yang memerdekakan.Sungguh kesalahan besar, meski atas nama kasih
sayang, orang tua yang senantiasa menyiapkan segala kebutuhan anak, hingga dia
menjadi si parkit yang jinak dan terus mbulet di rumah tanpa berani terbang
merantau mencari pengalaman baru.
Saya jadi teringat tayangan televisi
tentang kegiatan konservasi orangutan di Kalimantan. Sejak dini binatang langka
itu justru dididik mengenal dunia bebas dan alam liar agar kelak setelah dewasa
orangutan tersebut mampu hidup normal di habitat aslinya. Bila telah tiba
saatnya dilepas, mereka akan dapat menikmati
kehidupan yang bebas sekaligus mampu mengatasi marabahaya yang datang menghadang.
Kiranya penyayang binatang adalah mereka-mereka yang
memfasitasi dan merelakan binatang untuk menjalani kehidupan sesuai kodrat dan
perilaku aslinya. (Adriono)
Tulisan ini dimuat di majalah Sakinah,
edisi Februari 2016
Sumbe foto:
Lumbungpadi.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon